Rabu, 19 Februari 2014

Ciri Khas Masyarakat Jawa



a. Bahasa
Orang Jawa adalah orang yang mempunyai bahasa ibu yang sebagian besar bermukim di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan pusat kebudayaan berkiblat pada Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta, meskipun sebagian besar orang Jawa berdomisili di daerah lain namun tata cara kehidupannya baik cara berpikir, berperasaan masih tetap menggunkana pola Jawa, dan mengaku sebagai orang Jawa karena tetap hidup dengan budaya Jawa (Sarjana Hadiatmaja dan Kuswa Endah. 2009).

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk saling dapatberinteraksi. Dalam pergaulan sehari-hari umunya orang jawa menggunakan bahasa jawa dengan beberapa tingkatan yaitu bahasa ongoko, krama dan krama inggil. Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan sedangkan bahasa Jawa krama merupakan bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang. Bahasa Jawa krama inggil merupakan bahasa untuk menghormati orang lain dan lebih tinggi daripada bahasa Jawa krama.
Bahasa Jawa juga terdiri dari bermacam-macam dialek, diantaranya dialek Banyumasan, dialek Pesisiran, dialek Jawa Timuran, dialek Yogyakarta dan dialek Surakarta.
b.    Falsafah Hidup
Banyak sekali falsafah hidup yang dimiliki oleh orang Jawa. Disini hanya disebutkan beberapa falsafah hidup orang Jawa diantaranya:
Falsafah hidup orang Jawa bahwa hidup manusia di bumi hanya sementara, singgah sebentar ibarat hanya untuk makan dan minum. Oleh karena itu hidup di dunia menurut mereka lebih menonjolkan moralitas dalam hubungannya dengan manusia lainnya karena menurut mereka kebaikan yang dilakukan oleh seseorang di muka bumi akan mengantarkan orang tersebut kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam keadaan yang baik seperti awalnya dimana manusia itu dilahirkan juga dalam keadaan yang baik. Konsep tersebut juga dalam kalangan Kejawen dikenal dengan istilah “Sangkan Paraning Dumadi”. Selain itu berbuat baik terhadap sesama juga mendorong terbentuknya suatu keteraturan dalam masyarakat serta terbentuknya kehidupan yang selaras. Dengan mentaati pedoman dalam masyarakat, maka tingkah laku serta hubungan antar manusia akan berjalan secara wajar, yang memungkinkan untuk melakukan aktifitas secara efektif dan efisien.
Salah satu falsafah hidup orang Jawa yaitu sapa nandhur bakalan ngundhuh, dalam ungkapan tersebut dapat dimaknai sebagai siapa yang berbuat ia akan menanggung akibatnya. Sing nandur becik bakal becik undhuh-undhuhane, sing nandur ala bakal ala undhuhundhuhane. Barang siapa menanam kebaikan maka kebaikan pula buahnya, barang siapa menanam keburukan maka keburukan pula buahnya.
Nilai-nilai luhur Jawa yang juga merupakan falsafah hidup orang Jawa dinyatakan ada dua bahaya yang mengancam kehidupan manusia, yaitu nafsu dan egiosme (pamrih). Oleh karena itu seseorang (khusunya orang Jawa) harus dapat mengendalikan nafsunya dan melepaskan pamrihnya. nafsu yang membahayakan dalam masyarakat Jawa disebut dengan Malima yang merupakan lima nafsu yang harus dihindari yaitu madat, madon, minum, mangan main. Bertindak berdasarkan pamrih berupa mementingkan dirinya sendiri dibandingkan orang lain. Pamrih dalam hal ini juga dapat dilihat dari keinginan menang sendiri, menganggap dirinya paling benar, dan mementigkan dirinya sendiri. oleh karena itu nafsu dan pamrih merupakan hal yang harus dihindari dan menjadi pedoman diri seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan tuntutan keteraturan sosial.
Dalam masyarakat Banyumasan ada prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi dengan filosofisnya yang tinggi, yakni ungkapan tenimbang pager wesi, mendhingan pager tai sehingga melahirkan prinsip aman dan ketentraman dalam bertetangga yang berarti saling menjaga rasa aman dalam kehidupan kolektif.
c.    Tradisi yang melingkupinya
Banyak sekali tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa diantaranya upacara keselamatan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa saat ini. Walaupun di daerah perkotaan upacara keselamatan atau lebih dikenal dengan slametan sudah jarang terlihat tetapi di daerah-daerah pedesaan masih banyak ditemui slametan yang mempunyai tujuan agar keluarga yang melaksanakan selamatan memperoleh selamat. Selamat dalam melakukan pekerjaan, selamat.dalam perjalanan, selamat dalam segala tingkah laku dan perbuatannya. Berbagai jenis upacara selamatan yang masih dilakukan sampai saat ini antara lain upacara tingkeban, babaran,sepasaran, selapanan, pitonan, atau tedhak siten, sunat, perkawinan, kematian.
Upacara-upacara tradisional juga masih banyak dilakukan dalam masyarakat Jawa. Upacara tradisional ini biasanya dilaksanakan pada bulan tertentu dan hari tertentu berdasarkan penanggalan jawa. Upacara tradisonal sendiri juga mempunyai beragam corak yang mana setiap daerah mempunyai ciri khas dan nama yang berbeda-beda. Misalnya di Yogyakarta ada upacara sekaten, labuhan ageng merapi, dll. Di daerah pesisir Pantai Cilacap juga ada sedekah laut. Di daerah-daerah pedesaan ada sedekah bumi. Semua upacara tersebut bertujuan untuk memohon keselamatan maupun sebagai ungkapan rasa syukur terhadap limpahan rahmat yang telah diberikan.

Senin, 17 Februari 2014

Watak Orang Jogja


Sementara itu, kajian terdahulu banyak mengatakan bahwa Orang Jawa, termasuk Jogja memiliki perangai yang ramah, sopan dan halus. Hal ini bisa dilihat misalnya dari cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Mengajak bicara orang lain (yang baru dikenal sekalipun) bagi mereka adalah bagian dari kesopanan dan keramahan.

Ditambah lagi, Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi dalam interaksi tersebut memiliki aturan yang menjaga betul nilai-nilai kesopanan. Maka tak heran bila dalam Bahasa Jawa dikenal beberapa strata. Hanya saja, sikap hati-hati ini mungkin akan mengakibatkan orang Jogja tidak suka berterus terang. Yang pasti, semua sikap ini bersumber pada keyakinan terdalam orang Jogja pada kosmologi. Kosmos sebagai realitas kehidupan (baik makro maupun mikro) harus selalu terjalin harmoni.

Hasil kajian terdahulu diatas memberikan sedikit gambaran, dan tentu harus diuji lagi karena pesatnya kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi. Apalagi, Jogja sekarang sudah sangat lidig, banyak sekali jejak-jejak tradisi mewarnai Jogja yang turut serta bersama para pendatang dari luar kota, dari suku yang berbeda.

Kembali lagi jika menarik Watak Orang Jogja ke realitas angkringan, entah kenapa penjaja ankringan tidak merasa tertarik untuk menjual dagangannya dengan harga yang sedikit mahal. Mereka berdagang kelihatan sama sekali tidak untuk menumpuk harta akan tetapi hanya untuk mencari penghidupan, makan hanya agar tetap bisa hidup.

Seperti yang tersurat dalam kata-kata bijak: Mlarat ora gegulat, sugih ora rerawat (miskin tidak membabi-buta mencari uang, kaya tidak menumpuk harta). Karena hakikatnya ning dunyo cuman mampir ngombe (hidup di dunia hanya mampir sejenak untuk minum). []

Rabu, 05 Februari 2014

cabe cabean

Cabe Cabean
Cabe Cabean adalah fenomena baru, sebuah istilah bagi gadis / cewek beliayang masuk dalam kategori-kategori tertentu yang tren di kota-kota besar. Berikut10 ciri cewek Cabe Cabean:
1. Gigi ‘Dipagar’
Cewek Cabe Cabean memakai ‘pagar’ gigi atau behel. Namun mereka lakukan itu bukan untuk kesehatan atau kebutuhan giginya, melainkan hanya sekadar gaya. Bahkan, pasangnya di ahli gigi bukan dokter gigi.
2. Pakai Make Up di Malam Minggu
Pakai make up umumnya jika mau kondangan atau ke mall. Namun cewek Cabe Cabean kerap berdandan ‘super menor’ tatkala hang out di malam minggu.
3. Bonceng Bertiga atau Empat
Umumnya etika berboncengan menurut aturan lalu lintas maksimal dua orang. Tiga atau empat diperbolehkan dengan syarat misalkan membawa bayi atau anak kecil. Cewek Cabe Cabean lakukan ini bahkan hingga empat orang satu motor.
4. Gemar Kebut-kebutan
Cewek Cabe Cabean suka kebut-kebutan dengan memaerkan kakiknya. Namun sayangnya kaki mereka busikan. Tampang gadis Cabe Cabean nampak putih dari wajah hingga leher.
5. Rok di atas Pusar
Cewek Cabe Cabean demen memakai style rok mini hingga di atas pusar. Hal itu dilakukan untuk menonjolkan payudaranya. Di sekolah aturan rok diberlakukan sepinggang.
6. ‘Maling Teriak Maling’
Ada istilah ‘Maling Teriak Maling’ yang merujuk pada orang yang tak akui perbuatannya dan melempar ke orang lain. Cewek Cabe Cabean juga demikian. Mereka teriaki cewek lain Cabe meski dirinya sendiri adalah Cabe.
7. High Heels di Pasar Malam
Dengan dress trendi plus pakai high heels, cewek Cabe Cabean seharusnyanongkrong di clubbing. Namun mereka malah habiskan malam minggu di pasar malam.
8. Hang Out di Fly Over
Selain pasar malam cewek Cabe Cabean juga habiskan Sabtu malam di fly over.Nah loh mau pacaran atau bunuh diri?
9. Menipu Diri Sendiri
Umumnya cewek Cabe Cabean tunjukkan foto ke target pedekate dengan tampilan yang menipu. Nampak cute, cantik, imut namun setelah kopdar atau ketemuan berbeda dengan aslinya. Mereka juga berikan efek kamera di foto yang dikirimkan.
10. Naik Motor, Celana Pendek, dan Baju Ketat
Itulah ciri mutlak cewek Cabe Cabean. Plus jika berboncengan tiga hingga empat sudah pasti mereka adalah 100% cewek Cabe Cabean. Biasanya sambil berboncengan mereka main HP atau cekikikan ketawa ketiwi.